JAMBI – Dua artis senior, Roy Marten dan Dwi Yanuas Didi, terjerat dalam polemik hukum terkait dugaan aktivitas pertambangan ilegal di wilayah Jambi. Keduanya didesak untuk segera diperiksa penyidik Mabes Polri. Kasus ini terkuak setelah munculnya laporan resmi di Mabes Polri dengan nomor LP/A/64/X/2023/SPKT.DITTPIDTER/BARESKRIM POLRI.
Menurut informasi yang dihimpun dari kuasa hukum, Deniel Candra selaku pemegang saham mayoritas PT. Bumi Borneo Inti, Frandy Septior Nababan SH, aktivitas penambangan ilegal tersebut diduga dilakukan oleh Herman Trisna dan sejumlah pihak lainnya, yang pada saat itu bersangkutan bukan lagi merupakan pemegang saham maupun direktur di perusahaan tersebut sejak tahun 2021.
Pihak kuasa hukum menyebut, bahwa kehadiran Roy Marten dan Dwi Yanuas Didi ke lokasi tambang yang berada di Desa Persiapan Air Merah, Kabupaten Muaro Jambi, turut menjadi perhatian serius. Dokumentasi yang diklaim dimiliki oleh kuasa hukum menunjukkan kedua publik figur ini tidak hanya hadir di lokasi tambang, namun juga terlibat dalam sejumlah pertemuan.
“Yang menjadi pertanyaan besar adalah, apa dasar kehadiran mereka di lokasi tambang tersebut? Apakah mereka mengetahui bahwa aktivitas penambangan tersebut tengah dipersoalkan secara hukum dan diduga tidak sah?” kata Frandy usai membuat laporan di Mabes Polri, dalam keterangan pers yang diterima redaksi, Rabu 28 Mei 2025.
Tidak sampai disitu, situasi ini semakin memanas setelah Roy Marten dikabarkan memberikan komentar di media terkait proses hukum terhadap klien mereka, yang menurut kuasa hukum justru tidak berkaitan dengan penambangan ilegal.
“Pernyataan tersebut dinilai telah membentuk opini publik yang menyudutkan klien mereka,” tegasnya.
Pihak pelapor meminta Mabes Polri untuk turut menyelidiki sejauh mana keterlibatan dua artis senior tersebut, terutama dengan merujuk pada Pasal 55 KUHP yang mengatur tentang pihak yang turut serta dalam tindak pidana, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Selain itu, dugaan tambang ilegal ini juga menyeret masalah lingkungan. Pada tahun 2024, terjadi kebakaran batubara di lokasi tersebut, yang disebut sebagai dampak dari penumpukan hasil tambang pasca penyegelan oleh pihak kepolisian.
“Kami berharap Mabes Polri segera memanggil dan memeriksa Roy Marten dan Dwi Yanuas Didi. Jika terbukti ada unsur turut serta dalam kegiatan ilegal ini, maka proses hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu dan menetapkan kepada Roy Marten dan Dwi Yanuas Didi sebagai tersangka,” tegas kuasa hukum Deniel Candra.
Terkait Herman Trisna, salah satu pihak yang diduga terlibat dalam kasus penambangan ilegal di wilayah PT. Bumi Borneo Inti, disebut berulang kali tidak memenuhi panggilan resmi dari penyidik Mabes Polri. Dugaan ini mencuat seiring berjalannya penyidikan atas laporan polisi Nomor: LP/A/64/X/2023/SPKT.DITTPIDTER/BARESKRIM POLRI tertanggal 31 Oktober 2023.
Pihak kuasa hukum pemegang saham mayoritas PT. Bumi Borneo Inti menyampaikan bahwa klien mereka merasa dirugikan oleh tindakan Herman Trisna yang tetap menjalankan aktivitas pertambangan meskipun sudah tidak lagi menjabat sebagai direktur maupun pemegang saham perusahaan tersebut. Saat itu, perusahaan berada di bawah kendali hukum klien mereka.
Masih dalam keterangannya, Frandy kuasa hukum menyebut bahwa Herman Trisna berulang kali tidak hadir dalam panggilan pemeriksaan oleh penyidik Mabes Polri dengan alasan kesehatan, namun secara ironis justru hadir dalam pemeriksaan di POLDA Jambi dalam perkara berbeda.
“Pada 25 November 2023, 18 Juli 2024, dan 21 September 2024, Sdr. Herman Trisna diketahui menghadiri panggilan penyidik Ditreskrimum Polda Jambi sebagai saksi/pelapor dalam laporan Nomor: LP/B/201/VII/2023/SPKT/POLDA JAMBI. Bahkan dalam setiap BAP, ia menyatakan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani,” sebut Frandy dan rekan dari kantor Pranata Law Firm Jambi.
Pihaknya mempertanyakan inkonsistensi alasan ketidakhadiran tersebut, mengingat secara geografis, lokasi Mabes Polri di Jakarta justru lebih dekat dengan domisili Herman Trisna dibandingkan Polda Jambi.
Lebih lanjut, kuasa hukum menyatakan bahwa tindakan tidak hadir secara sengaja tersebut berpotensi melanggar Pasal 216 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur mengenai larangan menghalangi atau tidak menuruti perintah pejabat yang berwenang dalam proses hukum.
“Ketidakhadiran tersebut bukan lagi sekadar persoalan administratif, namun dapat dikualifikasikan sebagai bentuk pengingkaran hukum yang bisa dikenai pidana,” tegas kuasa hukum.
Mereka mendesak agar penyidik Mabes Polri, memanggil dan memeriksa kembali Herman Trisna untuk memastikan kelanjutan penyidikan berjalan tanpa hambatan.
“Menindak secara hukum atas dugaan pelanggaran Pasal 216 KUHP jika terbukti Herman Trisna dengan sengaja tidak menuruti panggilan resmi dari pihak berwenang,” tandasnya. (*)